Catatan Perjalanan Dari Padang ke Pariaman (2018)

Catatan dari perjalanan balik hariku ke Pariaman dari Padang menggunakan kereta api pada tahun 2018.

Pengalaman pertamaku ketika menaiki kereta api dengan rute sama ini hanya tinggal memori samar tentang gerbong sangat penuh dan berdiri terhuyung-huyung selama hampir satu setengah jam di kereta.

Judul alternatif: Somewhere I Have Never Travelled, Gladly Beyond
Farah akhirnya naik kereta!

Dari semua moda transportasi yang ada, kapal dan kereta api adalah dua moda transportasi yang begitu jarang aku naiki. Ketika berkesempatan untuk menaiki kereta api lagi hari Sabtu minggu lalu (28 Juli 2018), aku sungguh senang dibuatnya.

Ini merupakan kali kedua aku menaiki kereta api rute Padang – Pariaman. Pengalaman pertamaku ketika menaiki kereta api dengan rute sama saat ini hanya tinggal memori samar tentang gerbong sangat penuh dan berdiri terhuyung-huyung selama hampir satu setengah jam di kereta. Bahkan sejak awal, aku sudah bisa menyimpulkan kalau pengalaman kedua ini akan lebih baik daripada pengalaman pertama.

Pertama-tama karena kami benar-benar mendapatkan tempat duduk kali ini. Waktu sudah mendekati pukul 08.00 ketika kami membeli tiket dari loket di Stasiun Padang. Di luar dugaanku, stasiun belum terlalu ramai pagi itu. Aku sempat mengira bahwa kami sudah kehabisan tiket (lagi) mengingat Sabtu adalah salah satu hari libur di akhir minggu. Ternyata kami bahkan tidak perlu mengantri sama sekali untuk membeli tiket.

Setelah mengantongi 2 tiket di gerbong ekonomi 3, kami keluar dari stasiun untuk mencari sarapan. Aku yang sudah sarapan akhirnya hanya menyantap risoles sembari menemani Kiki yang melahap lontong. Kami berdua sebenarnya bertemu seorang Bapak yang unik pagi itu. Sayangnya, ketidakmampuan kami dalam membina small talk menjadikan celotehan antusias si Bapak tidak ditanggapi dengan semestinya. Alih-alih bertanya balik dengan penuh rasa penasaran, aku dan Kiki hanya mangut-mangut dan merespon seperlunya. And there goes our chance.

Ketika kembali lagi ke stasiun, waktu masih menunjukkan pukul 08.10. Masih ada 50 menit lagi sebelum jadwal keberangkatan kereta pada pukul 09.00. Aku dan Kiki akhirnya hanya duduk santai di ruang tunggu sambil mengagumi kereta api hijau rute Padang – Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di depan mata. Untuk menghindari motion sickness Kiki bahkan mengkonsumsi salah satu obat antimuntah. Hal ini ternyata tidak diperlukan karena Kiki baik-baik saja di sepanjang perjalanan pulang tanpa bantuan obat sekalipun. Better be safe than sorry I guess.

Kami baru menaiki kereta api sekitar pukul 09.15. Aku dan Kiki mendapat bangku bersebelahan di deret ke-5 bangku B dan C. Total waktu perjalanan dari Padang ke Pariaman adalah 01 jam 36 menit. Totalnya ada 10 stasiun dan pemberhentian yang akan dilalui dalam rute ini. Stasiun pertama merupakan Stasiun Padang (dikenal juga dengan sebutan Stasiun Simpang Haru) dan stasiun terakhir adalah Stasiun Pariaman yang berada tepat di depan Pantai Gandoriah, Pariaman. Di antara kedua stasiun ini kita akan melalui 4 stasiun (Stasiun Tabing, Duku, Lubuk Alung, dan Kurai Taji) dan 4 pemberhentian kereta (pemberhentian kereta di Alai, Air Tawar, Lubuk Buaya, dan Pauh Kambar).

Efek samping dari obat antimuntah yang dia konsumsi membuat Kiki tertidur selama setengah perjalanan Padang-Pariaman. Aku hanya memandangi jendela yang secara berganti-ganti menyajikan pemandangan perumahan dan persawahan. Tidak bisa dipungkiri, aku juga sempat terkantuk-kantuk meskipun tidak tertidur dalam perjalanan ini.

Secara keseluruhan perjalanan kami tenang dan damai. Ketenangan ini memang sempat terusik oleh serombongan muda-mudi yang duduk di belakang kami. Keributan yang dibuat oleh sebuah rombongan di tengah perjalanan tentu saja dapat dimaklumi. Hal ini menjadi sulit untuk dimaklumi ketika salah satu anggota rombongan ini dengan usil memotret pasangan turis yang tengah terlelap di depan aku dan Kiki. Pasangan turis berparas oriental ini duduk 2 deret di depan bangku kami. Secara pribadi, aku tidak merasa nyaman kalau dipotret ketika tertidur. Oleh orang tidak dikenal apalagi. Aku rasa kedua turis yang terlelap ini juga tidak berharap untuk difoto oleh orang tidak kenal. I’m feeling so sad all of sudden. Don’t do this to people guys.

Kiki bangun dari tidurnya ketika kami sudah sampai di Stasiun Pariaman. Tanpa babibu lagi kami langsung menuju ke tepi Pantai Gandoriah. Kami bahkan melupakan rencana awal untuk langsung membeli tiket kereta kembali ke Padang. Setelah menyantap mie rebus sembari memandangi pantai, kami akhirnya kembali lagi ke stasiun untuk membeli tiket karena takut kehabisan.

Ada hal menarik yang kami alami ketika membayar makanan kami. Ternyata Ibu-Ibu penjualnya tidak mau menerima pembayaran dengan uang logam pecahan Rp 100 dan Rp 200. Sang Ibu berdalih bahwa uang itu tidak laku lagi. Kelak hal ini mengusik pikiran kami bahkan ketika sudah kembali ke Padang. Apa iya uang logam tidak berlaku lagi? Hampir beberapa hari kemudian, setelah melakukan survei kecil-kecilan dengan bertanya lewat salah satu fitur di Instagram pada teman-teman yang berdomisili di Pariaman dan pernah tinggal di Pariaman jawaban mereka sama— Uang logam dengan nilai tersebut memang sudah tidak “berlaku” lagi di Pariaman. Sesungguhnya aku tidak mengerti kenapa. Apa Farah ketinggalan memo kalau uang logam tidak bernilai lagi di pasaran? Di satu sisi aku merasa seperti melakukan pembayaran di negara lain. Apa artinya mengumpulkan uang recehan selama ini?!?!?

Hal selanjutnya yang kami lakukan adalah berjalan kaki tanpa henti menyusuri pantai (dan sesi foto-foto tentu saja).

Dalam Gambar: Kiki berfoto cantik di monumen ASEAN Youth Pariaman.

Di sepanjang jalan kami mulai menemukan berbagai hal lain yang menarik perhatian kami. Dasar karena memang malas riset, kami tidak punya rencana apa-apa hari itu. Setelah berjalan kaki panjang, kami secara impromtu memutuskan untuk menaiki odong-odong dan menyewa sepeda tandem. Aku pribadi pertama kali mencoba naik odong-odong pada waktu KKN satu tahun lalu. Di daerah Sungai Tunu, Pesisir Selatan, tempat KKN dulu memang tidak ada angkot seperti di Padang. Moda transportasi di sana adalah motor becak dan odong-odong. Jadilah aku berpelisir ria dengan Kiki di atas odong-odong sampah jauh (Tarif= Rp 7.000,00/orang).

Ternyata tempat wisata ini tidak hanya terdiri dari Pantai Gandoriah saja. Kalau kita menyusuri jalanan sampai ke ujung kita juga bisa menemukan 2 pantai lain yaitu Pantai Kata dan Pantai Cermin. Bagi yang berminat bisa juga menyeberang ke Pulau Angso Duo dari Pantai Gandoriah. Aku dan Kiki sih sudah cukup puas dengan bermain-main di lingkungan Pantai Gandoriah saja. Dari pengamatan sekilasku, tidak hanya penuh dengan tempat duduk dan tempat makan saja, objek pariwisata ini juga penuh dengan playground anak-anak. Bahkan ada area kecil untuk pengguna skateboard. Sayangnya, beberapa sarana ini kondisinya sudah memprihatinkan. Kondisi playground anak di Pantai Kata dan Pantai Cermin lebih baik daripada di Pantai Gandoriah.

Selesai berkeliling dengan odong-odong kami istirahat shalat sebentar di mesjid yang berada tepat di antara Stasiun Kereta Pariaman dan Pantai Gandoriah. Ketika kami menyewa sepeda tandemlah beberapa drama terjadi. Tarif sewa satu sepeda tandem adalah Rp 20.000,00 untuk durasi 1 jam. Mengingat waktu kami yang lumayan singkat karena kereta kami dijadwalkan berangkat pukul 14.25, aku dan Kiki hanya menyewa sepeda untuk 30 menit. Aku rasa itu adalah 30 menit yang paling berkesan dari keseluruhan perjalanan ini. Sebagai seseorang yang tidak bisa mengendarai sepeda, aku selalu mengandalkan orang lain ketika menaiki sepeda tandem. Aku selalu menjadi orang kedua di belakang sepeda yang mengikuti orang pertama.

Bahkan belum 50 meter mengayuh sepeda ini, satu masalah sudah menimpa kami (menimpa Farah lebih tepatnya). Tanpa aku sadari, ujung celana kulotku ternyata terjepit di rantai sepeda. Kami menghabiskan hampir 5 menit untuk menyelesaikan masalah konyol yang dalam situasi lain bisa berakibat fatal ini. Dan begitulah cerita bagaimana Farah kembali dengan celana robek ke Padang. Untuk mencegah hal ini terulang lagi aku akhirnya memasukkan ujung celana kulot ke dalam kaus kaki yang aku pakai. Memakai ilmu kuliah lapangan KBA untuk menghindari invasi pacet kata Kiki.

Satu masalah teratasi masalah lain pun timbul. Mengendarai sepeda tandem sepertinya dapat menilai kekompakan kedua pengendaranya. Merasa lumayan kompak dengan Kiki, aku sesungguhnya menyalahkan sang sepeda tandem atas kesulitan yang kami temukan di awal. Setelah beberapa kali melakukan trial & error kami akhirnya bersepeda dengan cukup mulus. Sesungguhnya kebahagiaan ini tercoreng karena jok sepeda tandem yang sekeras batu. Aku rasa jok sepeda (normal) tidak mungkin sekeras ini. Meskipun hanya bersepeda selama 30 menit, kami berdua dibuat lelah jiwa dan raga olehnya. Kiki bahkan berujar bahwa lebih baik jalan kaki daripada mengendarai sepeda seperti ini. Aku benar-benar setuju dengan pendapatnya. Pengalaman kami mengendarai sepeda tandem di Pantai Gandoriah pun ditutup dengan menyantap es krim dari mini market terdekat.

Perjalanan pulang ke Padang juga kami lalui dengan tenang. Aku dan Kiki mendapatkan bangku terpisah kali ini. Kami berdua akhirnya hanya bermain dengan HP masing-masing. Kiki sendiri bahkan sempat tidur di kereta. Aku yang tidak bisa tidur akhirnya membaca buku terbaru dari Trinity, 69 Kiat Traveling Gratis. Agak kaget juga sebenarnya ketika buku 167 halaman ini dapat aku tamatkan hanya dalam kurun waktu kurang lebih satu jam. Buku ini memang merupakan bacaan lucu, informatif, dan menarik. Sayangnya ya itu, bukunya terlalu singkat. I want more.

Aku sempat terbengong-bengong dan hanya menikmati pemandangan Padang di sore hari selama setengah jam di atas kereta. Penumpang lain banyak yang turun di Pemberhentian Kereta Api Air Tawar di dekat Mall Basko. Gerbong kami begitu sepi dalam perjalanan singkat menuju Stasiun Padang. Kalau kata Kiki, kereta rasanya milik berdua hahaha. Kami akhirnya turun kereta dengan perasaan puas bercampur lelah.

This whole trip is worth it seriously.


Featured image taken by Farah & edited on VSCO.

Tulisan ini pertama kali tayang di blog Farah’s Space versi lama (yang sudah disembunyikan dari rambahan internet) pada tanggal 4 Agustus 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *